Tuesday, June 6, 2023

Naksir Pertama

 Apa itu naksir pertama? Sebenernya pengin nulis cinta pertama, tapi pengalaman naksir pertama kali, itu di waktu SD (Sekolah Dasar) jadi mungkin itu bukan cinta ya tapi lebih ke yang populer disebut dengan cinta monyet. Daripada saru dengan istilah monyet 😛, mari kita sebut saja "naksir pertama".


Tubuh kita itu sangat unik. Panca indera, otak, enzim, hormon, organ tubuh,dll menentukan siapa diri kita, bagaimana cara kita berpikir, kapan kita marah, kapan kita kepengin makan, kepengin tidur, termasuk kapan kita mulai naksir sama lawan jenis.


Pertama kali ada perasaan naksir, itu di waktu SD, kalau ga salah mulai kelas 4 apa 5 gitu deh. Adalah seseorang di kelas inisial A, yang langganan jadi ketua murid. Ga tau gimana, mungkin kombinasi enzim dan hormon wakakak, saya itu penyuka laki-laki yang cerdas. Jadi si A ini selain langganan jadi ketua murid, doski juga langganan jadi peringkat 1 di kelas, jaman dulu kan identik banget ye anak laki-laki juara 1 jadi KM. Agak-agak lupa (maklum SD tahun 1995-2001, dah jadoel), sepertinya doski anak pindahan deh.


Foto diambil dari browsing, situs sekolahkita kalau taksalah


Awalnya biasa aja, tapi kok seneng gitu lihat doski, terutama pas udah keliatan banget kecerdasannya. Ditanya guru selalu jawab dengan betul, terus Rank 1 di kelas, semester depannya rank 1 lagi. Mulai deh jatuh hati. Ga pernah mudah dekat dengan anak laki-laki karena pemalu, tetapi dengan yang ini, perasaannya betulan campur aduk. Kebetulan rumah kami searah dan ke sekolah naik angkot. Kalau mau naik angkot agak-agak berharap seangkot sama doski. Tapi pernah suatu kali seangkot, groginya kanmaen, turun duluan, mau pamit aja, kata-kata kayaknya nyangkut di amandel, berujung turun duluan tanpa pamit.


Setiap hari senin suka ada pengecekan kuku sebelum masuk kelas, dan KM yang bertugas mengecek. Duuh, gemeterrr banget pas giliran saya nunjukin kuku/ 🥶 Kalau pas kuku panjang, terus harus digeplak tangannya, saya merasa geplakan doski tidak sekencang ke anak lainnya, fix 100% ini perasaan saja sih kayaknya.


Suatu hari di jam tidak sibuk, saya melihat doski dikerubungi teman-teman, rupanya lagi bagi-bagi souvenir. Ayahnya yang habis dinas luar ke Jepang bawa oleh-oleh berupa gantungan kunci warna emas dan hiasan tasel warna merah, unyu. Salah satu teman dari gank saya ikutan mengerubungi, meskipun telat. "Oi minta dong oi, mau juga akuuu." Teman yang satunya tidak kalah juga, ikutan minta, "Mau juga akuuu." Karena kumpulan sudah mulai bubar, si A menoleh, "waduu kamu telat deh ah, ini tinggal satu gantungannya, kalian ber4 (anggota gank kuper, termasuk saya berjumlah 4 orang) hompimpa ajaa, yang menang dapet nih, tinggal satu-satunya."


Jujur, saya bukan orang yang selalu bersemangat untuk mendapatkan hadiah, lebih cenderung ke pasrah sih. Tapi yasudahlah, karena diajak juga, jadi ikutan hompimpa, dan voilaa tak disangka-sangka, saya dong yang menang. wkwkwk. Uuuh, seneng banget deh, bawa pulang dan digantung di tembok kamar (sekarang pastinya sudah hilang entah kemana hihihi).


Kalau dipikir-pikir lucu aja gitu, bisa ada perasaan berbunga-bunga setiap hari kalau ke sekolah. Sampai pernah saya minta dibelikan tas sekolah yang mirip dengan punya dia. Susah payah meminta, akhirnya dibelikan juga oleh Mama dan Papa, dengan syarat saya cabut gigi gingsul (syuper pedih, pakai disuntik segala kelas 4 SD). 😖 Tapi seneng banget bisa punya tas yang mirip.


Salah satu yang bikin sedih meninggalkan sekolah dasar adalah harus berhenti bisa melihat doski setiap senin-sabtu. Masalahnya karena doski begitu cemerlang, doski bisa masuk sekolah SMP terbaik 5 besar di Bandung. Sedangkan saya, karena terjadi insiden nilai IPS jeblok (sains dan matematika di atas 8 semua tapi IPS 4) 😭, saya masuk SMP 5 besar juga, tapi dari bawah. 😭😭😭 Sungguh jauh berbeda nasib kami. Ngomong-ngomong soal IPS dapet nilai 4, beruntungnya saya pada jaman itu belum ada nilai batas minimum, karena kalau ada, maka saya tidak lulus SD. 😫 Saya memang sangat kepayahan dalam IPS dan IPU, RPUL berjilid-jilid juga tidak membantu rupanya.


Jadi kisah pertemuan dengan si naksir pertama, berakhir sampai di sini. Doski melanjutkan sekolah di SMP 14, lalu sempat berharap juga bisa di SMA yang sama, tetapi nasib juga belum mau mempertemukan lagi. Doski masuk SMA terbaik (SMA 3), sedangkan saya sudah jungkir balik tergopoh gopoh mumet belajar, baru mampu masuk SMA peringkat 8 (puji syukur sekarang peringkat 8 dari atas yaa, bukan dari bawah, wkwkwk). Lalu berkuliah, doski masuk ITB dengan membanggakan.


Sekarang? Doski sudah menikah dan memiliki anak yang lucu. Apakah perasaan naksir itu masih ada? Kalau dirasa-rasa, sepertinya perasaan naksir ini sudah berubah menjadi perasaan kagum saja, sesederhana penikmat puisi mengagumi pembuatnya, atau penikmat lukisan mengagumi pelukisnya.


Pengin dengar juga kisah naksir pertama dari orang lain. Kalau ada yang kebetulan baca, dan berkenan sharing, boleh ya cerita di komen. 😘


No comments:

Post a Comment

Comment anything, ask me anything :)