Sadar atau tidak disadari, menjadi orang dewasa adalah hal yang rumit. Tentu sudah banyak yang tahu kisah-kisah curhatan orang-orang yang merasa tidak pernah berhenti dituntut oleh society-yang-kurang-kerjaan, sebut saja netijen.
Masih sekolah, dituntut segera lulus, sudah lulus dituntut segera dapat kerja, setelah dapat kerja dituntut punya pacar, dituntut lagi segera menikah, lalu dituntut punya anak, sudah anak 1 dituntut anak 2, dst. dst. Saya juga heran, kenapa society kita a.k.a. para netijen ini seperti kurang kerjaan. Apakah kurang rumit mengurus hidup sendiri sehingga perlu repot-repot menuntut di kehidupan orang lain?
Tapi sadar tidak? netijen itu bisa saja kita sendiri lho. Mungkin kita yang merasa rumit dengan hidup sendiri, lalu melirik kehidupan orang lain yang terasa berbeda, lalu sengaja atau tidak, berkomentar atau menuntut seperti tadi. Coba deh diingat-ingat, pernah tidak menyindir atau berkomentar negatif seperti ini:
"Hey sudah lama ga ketemu, udah kawin belum lu?"
"Sudah 3 tahun menikah dong ya? Kok belum ada bocah cilik nih."
"Itu si kakak, ngga dikasih adek lagi?"
"Kenapa belum hamil? Menunda ya? Mau fokus karir?"
"Makasih atas ucapannya, kapan nyusulnih?"
Setelah dipikir-pikir, mungkin inilah salah satunya orang di usia produktif (yang mana banyak tuntutan) sudah jarang ngumpul dengan teman-teman, dan inner circlenya makin kecil. Bagaimana tidak, sudah lama tak bertemu, ditanyanya seperti itu. Bukannya menikmati pertemuan, malah jadi kepikiran. :'(
Saya menulis begini bukan perkara omong doang, saya sendiri pernah mengalami tajamnya mulut netijen hahaha.
Sedikit curcol, waktu itu saya baru menikah selama sekitar 1 tahun. Tetangga seberang rumah, yang mana ibu-ibu entah perawat entah bidan gitu (maaf saya kurang suka kepo2) juga punya anak yang pengantin baru, kebetulan menikahnya lebih baru dan ternyata sedang hamil.
Suatu hari, pulang dari berbelanja sayur mayur bersama suami, bertemulah kami, sama-sama di depan rumah. Saya hanya senyumi sambil mengangguk sopan. Ibu itu ternyata sedari tadi memperhatikan perut saya. Lalu mengatakan, "Kok perutnya masih kempes-kempes aja belum hamil?" Pada saat itu saya sedang hamil muda, sekitar 2 atau 4 minggu. Kalau diperbolehkan dan tidak melanggar tata krama, saya rasanya ingin mendekati ibu itu, lalu mencubit pipinya. Hahaha. Sekesal ituu. Beneran.
Ternyata sekolah tinggi dan berpendidikan, tidak menjamin seseorang tidak punya mulut netijen ya.
Saya yang dalam keadaan sudah hamil saja, merasa tersinggung sangat, dengan komentar/pertanyaan si ibu, lalu saya berpikir, bagaimana rasanya orang-orang yang sudah berusaha bertahun-tahun dan belum juga mendapat kesempatan untuk hamil, lalu mendengar pertanyaan sampah seperti itu? Pasti lebih sakit, lebih sedih, kesal, stress, dst. dst. Padahal salah satu cara untuk sukses hamil adalah tidak boleh stress.
Terus bagaimana nih? Semua orang seperti itu sekarang, lidahnya seperti netijen.
Marilah kita mulai dari diri sendiri, berhenti mengomentari kehidupan orang lain, bertanya yang sifatnya menuntut. Selalu ada cara menyampaikan sesuatu dan berkomunikasi dengan cara yang lebih baik kok.
"Hey sudah lama ga ketemu, udah kawin belum lu?"
"Hey sudah lama ga ketemu, sibuk ngapain nih sekarang?"
"Sudah 3 tahun menikah dong ya? Kok belum ada bocah cilik nih."
"Sudah 3 tahun menikah ya? Duh semoga selalu bahagia dan damai terus yaa."
"Itu si kakak, ngga dikasih adek lagi?"
" Itu si kakak sudah besar ya, semoga jadi anak yg berbakti dan baik-baik terus sama ayah bundanya."
"Kenapa belum hamil? Menunda ya? Mau fokus karir?"
"Ah, keren sekali dirimu, karir tetap bersinar walau sudah tak single."
"Makasih atas ucapannya, kapan nyusulnih?"
"Makasih atas ucapannya, kudoakan kamu segera menyusul ya dan sehat-sehat selalu."
Kata-kata negatif bisa loh diubah jadi doa, yang tadinya menyakiti, jadi memberkati, yang tadinya kita dosa jadi pahala. :)
Terkait media sosial, tahu ga? Banyak orang yang meninggalkannya karena tidak tahan melihat postingan kerabat yang isinya seputar menikah, punya anak, karir bagus, dll. dll. Ya ada betulnya juga sih, contohnya kepengin punya anak, tapi masih berusaha, terus lihat yang postingan seperti itu, kalau mental dan hati sedang kurang kuat, bukannya ikut bahagia, jadi teringat kesedihan diri sendiri.
Karena mengingat hal ini dan mencoba memposisikan diri in others' shoes, jujur, saya sangat jarang memposting foto keluarga, anak, suami, atau hal-hal lain yang saya miliki. Salah satu prinsip yang saya anut adalah: Janganlah sering-sering posting apa yang kita punya dan belum tentu orang lain punya, seperti, pacar/pasangan, anak, karir yang bagus, dll dll. Kalau mau posting, postinglah bersama hewan peliharaan (lol), hobi kamu, bersama teman (semua orang belum tentu punya pacar, tapi pasti punya teman), dan hal-hal lain yang lebih minim menimbulkan kecemburuan sosial.
Untuk dokumentasi pertumbuhan buah hati, saya punya media sosial khusus. Jadi apa yang saya posting di akun saya, ya tentang saya saja, bersama hobi, hewan peliharaan, teman-teman, dst. dst. Mohon dinote, bahwa ini adalah prinsip pribadi saya ya, boleh banget kalau punya cara pandang yang berbeda, karena seperti yang orang banyak bilang, kalau ga suka kan tinggal unfollow atau mute posting.
You have scars,
So do I,
Well, that's life
Mengenai pertanyaan pada judul tulisan ini, mari kita mendewasakan diri dan lebih peka, maka kita bisa menjawabnya dengan bijak.
Masing-masing dari kita punya kekurangan, punya luka yang tentunya bisa sakit kalau dicubit.
Mari belajar pada Maissy dari lagu cubit (https://www.youtube.com/watch?v=LSCe2hulcNE):
Jangan suka cubit-cubit,
Kalau nggak mau dicubit,
Itu nggak booleh,
Itu salah itu salah
Kalau ada teman-teman yang mengalami hal yang sama atau mau berbagi unek-unek, boleh loh ya di kolom komentar. :) Mari kita berbagi bersama. Saya akan menjadi pendengar/pembaca yang bhaique.
Inilah gambar tanaman Sansevieria a.k.a. lidah mertua, yang menurut saya lebih cocok diganti saja namanya menjadi lidah netijen.
No comments:
Post a Comment
Comment anything, ask me anything :)